“Sekecil apa pun ilmu yang kita punya, tebarkanlah. Karena di situlah keberkahan hidup akan kita rasakan.”
Disebuah perkampungan sederhana yang terletak di wilayah Serang, Banten, muncul seorang anak muda yang kini menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dialah Rif’at Syauqi Satibi, sosok yang dulu hanya dikenal sebagai santri biasa, kini menjelma menjadi salah satu wajah dari da'i muda Indonesia. Nama lengkapnya Rif’at Syauqi Syatyani. Namun, ia lebih akrab disapa Rif’at Syauqi Satibi, sebuah nisbat nama yang ia sematkan sebagai penghormatan kepada orang tuanya. Lahir di Serang pada 24 Desember 2000, Rif’at Syauqi kini berusia 25 tahun. Usianya memang muda, tetapi perjalanannya dalam dunia dakwah terbilang matang luar biasa.
Perjalanan Menjadi Da'i Muda Indonesia
Sejak kecil, ia telah ditempa dalam lingkungan pesantren. Pendidikan formal pertamanya ia tempuh di MI Daar El Muflihin, Serang, Banten. Setelah itu, enam tahun penuh ia habiskan untuk menempuh pendidikan di MTs dan MA Ponpes Daarul Falah, Serang, Banten. Di sanalah fondasi keilmuan Islam mulai ditanamkan dalam dirinya.
Namun, perjalanan menuntut ilmunya tidak berhenti sampai disana. Rif’at Syauqi kemudian memilih jalan yang lebih khusus: memperdalam tahfidz Qur’an di Ponpes Irhamna Bil Qur’an, Pandeglang, Banten. Empat tahun ia habiskan untuk menyetorkan hafalan, mengabdi kepada guru, dan mendampingi para santri dalam belajar. Pengalaman ini tidak hanya membentuk keilmuannya, tetapi juga membiasakan dirinya untuk hidup dalam pengabdian.
Setelah menyelesaikan pendidikan tahfidz qur'an, Rif’at Syauqi melanjutkan pendidikannya ke Ponpes Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, untuk memperdalam ilmu nahwu dan shorof. Meski hanya enam bulan, pengalaman di pesantren legendaris itu menjadi bekal penting bagi dirinya. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikannya di Ponpes Al Inayah, Bandung Barat, selama dua bulan disana, ia fokus memperdalam keilmuannya di bidang fiqih, nahwu, dan cabang keilmuan lainnya.
“Pesantren adalah rumah yang membentuk karakter saya. Dari disiplin, tanggung jawab, hingga rasa syukur yang tak pernah putus. Saya bisa jadi seperti sekarang ini karena ditempa oleh sistem pendidikan di pondok pesantren,” kenangnya.
Dakwah sebagai Amanah Ilmu
Dalam pandangan Rif’at Syauqi, menjadi seorang da’i bukanlah sekadar profesi. Menjadi Da'i menjadi seorang da’i bukan pilihan, melainkan kewajiban. Ia mengutip kalam nasihat dari Al Imam Ibnu Utsaimin, yang mengatakan bahwasannya jika kamu memiliki ilmu lalu meninggalkan dakwah, maka kamu telah menyia-nyiakan ilmu dan tidak menunaikan amanah.
“Da’i itu bukan hanya berdiri di atas mimbar. Da’i adalah mereka yang berani menyampaikan pesan kebaikan di mana pun berada. Kalau punya ilmu tapi tidak dibagikan, kita justru menghianati Allah yang telah memberi anugerah terbesar itu,” ujar Rif’at Syauqi penuh keyakinan.
Keyakinan itulah yang kemudian memacu langkahnya untuk ikut serta dalam Program Pembibitan Calon Da’i Muda (PCDM) Indonesia, sebuah program yang digagas Kementerian Agama RI pada 04 Agustus hingga 14 Agustus 2025 lalu.
Langkah Awal di Panggung Nasional
Awalnya, Syauqi mengetahui program ini dari sebuah poster yang dibagikan orang tuanya. Dengan sederhana, ia mencoba mencari tahu lebih dalam melalui Instagram. Kemudian, ia memutuskan untuk mendaftar dengan cara memposting video ceramah di akun pribadinya.
Tanggal 13 Juli 2025 menjadi awal langkahnya. Video berdurasi dua menit tiga puluh detik itu ia unggah, berisi motivasi dakwah yang lahir dari hatinya. Tidak disangka, pada 18 Juli, namanya diumumkan lolos seleksi. Penilaiannya tidak hanya berdasarkan isi ceramah, melainkan juga konsistensi dalam mengelola konten dakwah di media sosial.
“Sejak lama saya memang aktif membagikan cuplikan dakwah, baik di TikTok maupun Instagram. Itu jadi nilai plus. Tapi yang paling berkesan bagi saya, ternyata benar pepatah: kalau kita tidak berani mencoba, kita tidak akan pernah tahu hasilnya,” katanya.
Rif’at Syauqi kemudian mewakili Kabupaten Serang dan ikut serta dalam program nasional ini bersama 600 peserta lainnya dari seluruh Indonesia. “Saya bangga bisa membawa nama kampung saya, Cikande Permai,” tambahnya.
Dakwah di Zaman Digital: Dari Mimbar hingga Meja Tongkrongan
Salah satu hal yang membedakan Rif’at Syauqi dari banyak da’i lain adalah cara pandangnya terhadap anak muda. Ia menilai bahwa dakwah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ceramah di masjid atau majelis formal. Anak muda, katanya, justru harus ditemui di tempat mereka biasa berkumpul.
“Saya menyebutnya dakwah berkedok nongkrong. Kita hadir dalam tongkrongan anak muda, lalu pelan-pelan menyelipkan nilai kebaikan. Cara ini lebih efektif karena kita masuk ke dunia mereka, bukan menunggu mereka datang ke kita,” jelasnya.
Selain itu, Rif’at Syauqi juga memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah. Ia menyadari, hampir seluruh generasi muda mengakses informasi melalui platform digital. “Kalau algoritma media sosial bisa menjerumuskan, maka da’i muda harus bisa melawannya dengan konten dakwah yang menarik, relevan, dan mampu menginspirasi,” tegasnya.
Inspirasi dari Sosok Guru dan Orang Tua
Perjalanan Rif’at Syauqi sebagai da’i juga tak lepas dari peran para guru dan orang tuanya. Sosok almagfurlah KH. Ahmad Khuldori, misalnya, memberikan nasihat yang selalu ia ingat: “Ketika belajar pidato, jangan seratus persen meniru satu tokoh. Lihatlah berbagai ulama, lalu kembangkan gayamu sendiri.” Nasihat itu membuatnya berani tampil dengan gaya dakwah khas yang ia kembangkan sendiri.
Selain itu, ia juga terinspirasi oleh ayahandanya yang merupakan pendakwah aktif. Dari masjid ke masjid, dari rumah ke rumah, sang ayah tak kenal lelah menyebarkan ajaran Islam. “Saya ingin melanjutkan perjuangan beliau, bahkan harus lebih baik dari ayah saya,” tutur Syauqi dengan mata berbinar.
Makna Santri dan Motivasi Hidup
Bagi Syauqi, menjadi santri adalah anugerah terbesar. “Kalau bukan karena pesantren, mungkin saya sudah terjerumus ke jalan yang salah. Saya bersyukur Allah menakdirkan saya tumbuh dalam lingkungan pesantren. Itu yang membentuk siapa saya hari ini,” katanya lirih.
Pengalaman di program PCDM juga mempertemukannya dengan banyak da’i muda dari berbagai daerah. “Saya tersentuh melihat anak-anak muda dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka rela menghabiskan masa mudanya hanya untuk berdakwah, bukan sekadar bersenang-senang dalam urusan dunia. Itu yang membuat hati saya tersentuh dan semakin termotivasi,” ceritanya.
Harapan dan Visi untuk Masa Depan
Syauqi menyimpan visi besar sebagai seorag da’i muda. Ia ingin dakwahnya dapat diterima oleh semua kalangan, khususnya generasi muda. Ia percaya, konten dakwah yang relevan dengan kondisi anak muda akan lebih mudah menyentuh hati mereka.
Pesan dakwah yang paling ia pegang hingga kini terinspirasi dari Al Habib Alwi bin Abdurrahman As-Segaf: “Nakal boleh, ngaji jangan ditinggal.” Bagi Syauqi, kalimat itu sederhana tapi dalam. Anak muda mungkin salah, khilaf, atau berbuat dosa. Namun selama mereka tetap dekat dengan pengajian, hidayah akan datang sedikit demi sedikit.
Ke depan, ia berharap program PCDM terus berlanjut dengan dukungan pemerintah. “Bangsa ini akan cerah kalau generasi penerusnya teguh pada agamanya. Karena itu, pemerintah harus peduli kepada generasi muda, terutama mereka yang menguasai ilmu agama,” ujarnya penuh harap.
Untuk sesama santri, Syauqi menitipkan pesan: “Semangatlah belajar, taati guru, muliakan orang tua, teruslah mencoba, dan jangan pernah putus asa.”
Kisah Rif’at Syauqi Satibi adalah potret nyata bagaimana ilmu, keberanian mencoba, dan semangat dakwah mampu mengantarkan seorang santri dari pelosok Banten hingga menjadi Calon Da’i Muda Indonesia.
Ia membuktikan bahwa dakwah bukan hanya milik mimbar, tetapi bisa hadir di tongkrongan anak muda, bahkan di layar ponsel. Dari pesantren hingga media sosial, Syauqi menegaskan bahwa da’i muda adalah harapan bangsa, penopang agama, dan cahaya bagi generasi penerus bangsa.
penulis: Fadhil Muhammad
masyaallah
BalasHapusPosting Komentar