Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat PT Pertamina kembali mengguncang kepercayaan publik. Dugaan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah akibat manipulasi impor dan pencampuran bahan bakar bersubsidi menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia tidak hanya terkait dengan lemahnya penegakan hukum, tetapi juga dengan pudarnya moralitas dan melemahnya rasionalitas dalam pengambilan keputusan publik.

    Pemikiran Ibnu Rusyd, seorang filsuf muslim dari Andalusia, menjadi sangat relevan untuk memahami situasi ini. Karena ia sangat menekankan pada penggunaan akal sehat sebagai dasar moral dan tindakan sosial. Menurutnya, keadilan baru akan dapat ditegakkan jika manusia mau menggunakan nalar untuk mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam konteks kasus Pertamina, praktik korupsi yang terjadi menunjukkan kurangnya penggunaan akal sehat dalam birokrasi. Keputusan yang seharusnya didasarkan pada logika moral beralih pada kepentingan pribadi dan keserakahan.

        Kasus ini juga menunjukkan gagalnya sebagian pejabat dalam memahami tanggung jawab publik. Mereka yang seharusnya menjaga amanah negara malah memanipulasi keuangan rakyat demi keuntungan pribadi. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, kekuasaan yang tidak diarahkan oleh akal dan moral akan mudah tersesat, karena kekuasaan tersebut tidak lagi digunakan untuk menegakkan kebenaran, melainkan berubah menjadi alat ketidakadilan.

        Pelajaran penting dari kasus Pertamina adalah bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak cukup mengandalkan penegakan hukum. Indonesia memerlukan penguatan budaya berpikir kritis dan rasional di seluruh level birokrasi. Para pemimpin perlu dibiasakan berpikir sebagaimana diajarkan Ibnu Rusyd, yaitu menjadikan akal sebagai pedoman moral dan menempatkan kebenaran sebagai dasar setiap keputusan.

        Selama rasionalitas dan etika diabaikan, Indonesia akan terus berhadapan dengan korupsi yang merusak kepercayaan publik. Ibnu Rusyd mengingatkan bahwa kemajuan bangsa tidak hanya diukur dari angka ekonomi, tapi juga dari kejernihan berpikir dan kejujuran dalam menjalankan amanah. Jika akal sehat terus dikalahkan oleh keserakahan, maka kebijakan publik akan kehilangan makna keadilannya.

Penulis: Meylani Eka Putri


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama