Fenomena thrifting atau belanja
pakaian bekas beberapa tahun terakhir menjadi tren yang massif di Indonesia,
terutama di kalangan gen Z. Toko-toko thrift bermunculan di berbagai platform,
mulai dari Instagram, TikTok, hingga Shopee. Pakaian bekas impor dari Amerika,
Korea, dan Jepang diburu habis dengan alasan hemat, unik, dan ramah lingkungan.
Harga yang ditawarkan sangat murah sebuah kaos branded bisa didapat hanya Rp
20.000-50.000, jauh lebih terjangkau dibanding produk baru lokal yang berkisar
Rp 75.000-150.000. Meskipun konsumen diuntungkan dengan harga yang sangat
murah, namun tidak bisa dipungkiri bahwa industri tekstil dan garmen lokal
mulai merasakan tekanan berat. Pabrik-pabrik mengalami penurunan order, ribuan
pekerja di PHK, dan UMKM fashion lokal kesulitan bersaing dengan serbuan barang
bekas impor. Kasus ini menggambarkan bagaimana wajah globalisasi neoliberal
hadir melalui perdagangan barang bekas dan menimbulkan dilema sosial ekonomi
yang serius bagi negara Indonesia.
Jika dilihat dari pemikiran Mansour
Fakih, seorang ilmuwan sosial kritis Indonesia yang dikenal sebagai pemikir
yang menentang neoliberalisme dan globalisasi yang tidak adil. Fenomena thrifting
ini contoh nyata bagaimana neoliberalisme bekerja di era globalisasi. Dengan
sistem perdagangan bebas dan tanpa regulasi yang ketat, barang bekas impor
membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah, yang akhirnya menciptakan
persaingan yang tidak adil bagi industri lokal yang harus menanggung biaya
produksi lebih tinggi, upah pekerja, dan pajak. Sementara itu, pedagang thrift
yang mengimpor barang bekas mendapat keuntungan besar tanpa perlu menanggung
beban produksi. Lebih parah lagi, Indonesia menjadi “tempat pembuangan” barang
bekas negara maju, sebuah bentuk neokolonialisme baru di mana negara berkembang
tidak hanya dieksploitasi sumber daya dan tenaga kerjanya, tetapi juga
dijadikan pasar bagi surplus produksi dan bahkan limbah konsumsi negara maju.
Fenomena ini juga menunjukkan
lemahnya peran negara dalam melindungi rakyat dan industri nasional dari
cengkeraman neoliberalisme global. Jika pasar dibiarkan berjalan sendiri
mengikuti logika neoliberal tanpa campur tangan negara, maka yang bertahan
hanyalah korporasi besar dan produk impor murah, sementara industri lokal mati
perlahan dan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Maka dari itu, negara
wajib hadir dengan regulasi yang jelas dan tegas untuk melindungi industri
tekstil nasional, membatasi impor barang bekas, dan memastikan keberpihakan
pada rakyat kecil.
Fenomena thrifting menjadi cermin
nyata bagaimana neoliberalisme dan globalisasi yang tidak adil bekerja dalam
kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Negara
harus hadir dengan kebijakan yang melindungi industri lokal, pekerja garmen,
dan UMKM, sementara masyarakat bisa menunjukkan kesadaran kritis dengan lebih
memilih produk dalam negeri sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan
global. Thrifting memang sulit dihindari sebagai respons dari kemiskinan
struktural dan daya beli yang rendah, tetapi akar masalahnya adalah sistem
ekonomi neoliberal yang eksploitatif harus segera dirubah. Globalisasi
perdagangan memang sulit dihindari, tetapi harus ditindak secara adil agar
tidak hanya menguntungkan segelintir negara maju dan korporasi besar, melainkan
juga memberi ruang hidup yang layak dan bermartabat bagi pekerja dan industri
lokal Indonesia.
Penulis: 1. Andi Nazira Fitria
2. Angga Rosidin, S.I.P.,M.A.P.
3. Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P.,M.Sos.
Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang (UNPAM) Kampus Serang.

Posting Komentar