Di
tengah derasnya arus globalisasi dan dunia digital yang tak pernah berhenti
bergerak, anak muda Indonesia kini menghadapi dilema baru: siapa sebenarnya
diri mereka? Dalam keseharian, kita bisa dengan mudah melihat bagaimana budaya
global meresap ke setiap aspek kehidupan muali dari gaya berpakaian, cara
berbicara, hingga cara berpikir. Lambat laun, budaya lokal yang dulu menjadi
kebanggaan mulai tampak asing, bahkan dianggap tidak relevan dengan kehidupan
modern.
Fenomena ini
sangat terasa di media sosial. Banyak anak muda lebih bangga meniru tren luar
negeri, mengikuti gaya hidup para influencer asing, atau berbicara dengan
istilah yang “kekinian” agar dianggap modern. Padahal, di balik semua itu, ada
rasa kehilangan yang pelan tapi pasti tumbuh: kehilangan hubungan dengan akar
budaya sendiri. Kita mungkin semakin terkoneksi secara global, tapi justru
makin jauh dari jati diri kita sendiri.
Budaya lokal bukan
hanya tentang pakaian tradisional atau upacara adat, tapi juga tentang cara
kita memandang dunia, menghargai sesama, dan membangun kebersamaan. Ketika
nilai-nilai itu mulai tergantikan oleh logika kompetisi dan pencitraan di media
sosial, maka krisis identitas pun muncul. Anak muda jadi lebih sibuk membangun
citra diri daripada memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
Hal yang menarik,
banyak anak muda sekarang sebenarnya sadar dengan kondisi ini. Tapi sering kali
mereka bingung harus mulai dari mana. Ada keinginan untuk tetap “gaul” dan
mengikuti zaman, tapi di sisi lain, juga muncul rasa ingin kembali mengenal
budaya sendiri. Sayangnya, tidak semua punya ruang untuk menyeimbangkan
keduanya. Akibatnya, budaya lokal sering hanya muncul sebagai simbol sesaat
yang dipakai saat acara tertentu, diunggah di media sosial, lalu dilupakan
kembali.
Padahal, menjadi
modern tidak berarti harus menyingkirkan yang lokal. Kita justru bisa membuat
budaya kita menjadi lebih hidup dengan cara baru. Misalnya, lewat musik,
fashion, film, atau konten kreatif yang mengangkat kekayaan budaya Indonesia
dengan kemasan yang menarik. Budaya tidak akan pernah usang kalau terus diberi
makna oleh generasinya.
Anak muda hari ini
punya kekuatan besar untuk menentukan arah budaya bangsa. Tapi kekuatan itu
akan sia-sia kalau hanya digunakan untuk meniru. Kita tidak perlu menjadi
salinan dari bangsa lain, karena nilai dan identitas kita sendiri sudah sangat
berharga. Tantangannya adalah bagaimana tetap terbuka terhadap dunia tanpa
kehilangan akar.
Menjadi bagian
dari dunia global seharusnya tidak membuat kita kehilangan diri, tapi justru
memberi peluang untuk memperkenalkan siapa kita sebenarnya. Anak muda Indonesia
tidak perlu memilih antara lokal atau global melainkan yang dibutuhkan adalah
keseimbangan. Karena pada akhirnya, di tengah dunia yang serba cepat ini,
mengenal dan mencintai budaya sendiri adalah cara paling elegan untuk tetap
berdiri tegak sebagai diri sendiri.
Oleh : 1. Fida Zahra Hanifah
2. Angga Rosidin, S.I.P ., M.A.P
3. Zakaria Habib Al-Razie, S.I.P ., M.Sos

Posting Komentar